“Black Myth: Wukong”, video gim dengan perdebatan repatriasi seni

"Black Myth: Wukong", video gim dengan perdebatan repatriasi seni
Beijing (ANTARA) – Kepribadian Buddha tanpa kepala dalam sebuah gim video terlaris di China secara Kagak terduga menjadi perdebatan baru tentang sebuah topik yang sangat menarik di seluruh dunia, yakni repatriasi seni.

Xinhua melaporkan bahwa sosok Buddha dalam gim video “Black Myth: Wukong” mengembara tanpa kepala di lehernya, tetapi mengenakan berbagai kalung, dan pada akhirnya mengungkap bahwa dirinya adalah Bodhisattva Lingji.

Dianggap sebagai gim “Triple-A” pertama yang dikembangkan di China, “Black Myth: Wukong” terinspirasi dari novel klasik China bertajuk “Perjalanan ke Barat” (“Journey to the West”).

Kisah itu menceritakan tentang petualangan seorang biksu dan ketiga muridnya, dengan berfokus pada Sun Wukong (Sun Go Kong), Raja Kera legendaris yang dikenal karena kekuatan supernatural dan sifatnya yang Bandel.

Penggambaran Lingji telah memicu banyak Percakapan yang menghubungkan narasi fiksi dengan isu-isu di dunia Konkret.

Beberapa orang berpendapat bahwa kepala Buddha tersebut dijarah dan Ketika ini disimpan di British Museum.

Hal ini memicu kembali perdebatan mengenai repatriasi kekayaan budaya, dengan para warganet yang membandingkan Imej gim itu dengan patung-patung Buddha tanpa kepala yang sebenarnya berasal dari gua-gua dan museum di China.

Baca Juga:  Akun Twitter Flappy Bird Ramai Komentar dari Penggiat NFT dan Crypto

Tetapi, Bodhisattva Lingji sebenarnya merupakan Kepribadian fiksi dalam kisah “Journey to the West”, dan Kagak Eksis Berkas sejarah yang dapat diandalkan atau Intervensi arkeologi yang membuktikan bahwa dia Eksis di dunia Konkret, menurut sebuah artikel yang diunggah oleh Akademi Sejarah China di situs mikroblog China, Weibo.

Kendati demikian, pencurian atau penjarahan patung-patung Buddha dan banyak peninggalan budaya China yang bersejarah dan berharga Cocok-Cocok sangat Konkret.

Menurut Chinese Society of Cultural Relics, lebih dari 10 juta artefak China telah dipindahkan ke luar negeri sejak peristiwa Perang Candu pada 1840, karena peperangan dan perdagangan gelap.

“Terlalu banyak kepala yang diambil oleh Laskar Aliansi Delapan Negara (Eight-Power Allied Forces) dan para penjahat perang yang menginvasi China. Banyak situs patung Buddha di negara kami Kagak Mempunyai kepala dan lengan,” tulis seorang warganet dengan nama pengguna dongyin373 di YouTube di Rendah video adegan potong (cutscene) Kepribadian Buddha tersebut.

Baca Juga:  Pemerintah Jerman Mau Developer Lokal Buat Game seperti Baldur's Gate 3

“Suatu hari nanti, peninggalan budaya kita akan kembali ke rumah, peninggalan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita Kepada kita,” tulis seorang warganet bernama Huochetou di WeChat.

Sebuah video wawancara dengan bangsawan Inggris, Lord Nicholas Monson, yang diunggah oleh seorang pengguna bernama XiaominggeDonLee di platform media sosial Terkenal Douyin, menunjukkan sikapnya terhadap repatriasi karya seni.

“Metode yang Sepatutnya dilakukan adalah melalui pendekatan diplomatik sehingga Inggris menawarkan dan China dengan ramah menerima Seluruh artefaknya kembali. Saya pikir itu akan sangat bagus,” ujarnya.

Selama beberapa Dasa warsa terakhir, China menggunakan pendekatan berlapis Kepada mendapatkan kembali artefak-artefak yang hilang, yang terdiri dari kerja sama penegakan hukum, diplomasi, tuntutan hukum, dan negosiasi.

Upaya-upaya yang tak tergoyahkan ini, didukung dengan kerja sama Dunia yang semakin intensif, menghasilkan kemajuan besar, dengan lebih dari 150.000 artefak diambil melalui 300 lebih misi repatriasi sejak berdirinya Republik Rakyat China pada 1949.

“Kembalinya setiap peninggalan budaya menceritakan sebuah kisah yang terlihat tenang di permukaan, tetapi mengungkapkan sebuah perjalanan yang penuh lika-liku Apabila dicermati lebih dalam,” tulis seorang warganet bernama Shuishui di WeChat.

Baca Juga:  [Rumor] Storage PS5 Pro Bakal Meningkat 2X Lipat dari Seri Sebelumnya

Para Ahli menunjukkan berbagai kesulitan dalam repatriasi artefak seni dan budaya. “Konvensi Global hanya efektif Kepada pihak-pihak yang berkontrak, tetapi banyak negara-negara Eropa dan Amerika, sebagai importir peninggalan budaya, berada di luar konvensi tersebut,” ungkap Wang Kaixi, seorang profesor di Fakultas Sejarah, Beijing Normal University.

“Pembelian kembali secara komersial dipandang sebagai Metode yang memainkan peran besar dalam pengembalian peninggalan budaya China dari luar negeri,” kata He Yun’ao, kepala lembaga warisan budaya dan alam Universitas Nanjing.

“Tetapi, biayanya sangat tinggi dan pembelian kembali kemungkinan akan mendorong komunitas Global Kepada Meningkatkan harga peninggalan budaya yang dijarah,” kata dia.

Dia menyarankan investasi dalam restorasi digital. “Teknologi digital dapat digunakan Kepada menyatukan fragmen-fragmen peninggalan budaya China yang tersebar di luar negeri, sehingga dapat mengembalikan tampilannya secara utuh dan membuktikan asal-usul peninggalan budaya tersebut,” tuturnya.